Jumat, 16 Maret 2012

VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie)


            Pada tahun 1598, 22 buah kapal miliki lima perusahaan Belanda melakukan pelayaran ke nusantara namun 14 kapal diantaranya kembali lagi ke Belanda. Kapal yang pertama tiba di daerah Maluku pada bulan Maret 1599 adalah Armada pimpinan Jacob Van Neck. Kapal-kapal ini kemudian kembali ke Belanda pada tahun 1599-1600 dengan mengangkut cukup banyak rempah-rempah dari Nusantara dimana rempah-rempah tersebut sangat membawa keuntungan bagi Belanda. Dengan diperoleh banyaknya keuntungan tersebut pada tahun 1601 empat belas buah kapal ekspedisi kembali melakukan pelayaran ke Nusantara. Namun, keuntungan yang didapat  perusahaan-perusahaan dagang Belanda mengakibatkan munculnya persaingan yang sangat ketat. Pada tahun 1598, Parlemen Belanda(Staten Generaal) mengusulkan agar perusahaan-perusahaan dagang Belanda tersebut bergabung menjadi satu dan membentuk suatu perusahaan yang diberi nama VOC.[1]
VOC(Vereenigde Oost-indische Compagnie) merupakan persekutuan dagang Hindia Timur yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. VOC ini sendiri didirikan dengan akta Oktroi(hak istimewa) dari Staaten Generaal(Parlemen Belanda). Hak istimewa itu diantaranya VOC dapat menetapkan dan mengeluarkan mata uang sendiri, memungut pajak, memelihara angkatan perang, berhak menyatakan perang, dan menerima perdamaian, merebut, menduduki, serta memerintah daerah-daerah asing diluar negeri Belanda, memaksa para raja di wilayahnya untuk tunduk kepada kekuasaan dan aparat VOC. Selain itu, VOC juga memiliki hak monopoli untuk berdagang dan berlayar diwilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens termasuk pulau-pulau di Selatan Pasifik, kepulauan Jepang, Sri Lanka, dan Cina Selatan serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri dan VOC juga memiliki wewenang untuk membuat Undang-undang, membentuk pengadilan, serta mahkamah agung.[2]
VOC memiliki wilayah yang luas pada saat itu, untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan pemerintahan secara langsung mulai tahun 1610 ditunjuk seorang Gubernur Jendral dan seorang Gubernur wilayah. Dibentuk juga Dewan Hindia untuk memberikan nasehat, pertimbangan dan pengawasan kepada para Gubernur sekaligus bertugas memberikan keputusan untuk semua kejadian dan transaksi tanpa campur tangan De Heren XVII.
Pieter Both diangkat oleh Staaten Generaal menjadi Gubernur Jendral VOC pertama pada tahun(1610-1614). Namun, pada masa Jan Pieterzoon Coen pengangkatan Gubernur Jendral dilakukan oleh De Heren XVII atas persetujuan Staaten Generaal. Selama masa jabatan tiga gubernur jendral pertama yakni Pieter Both, Gerard Reynst, dan Dr. Laurens Reael pusat kegiatan VOC berlangsung di benteng Oranje, Ternate. Pemilihan Ternate sebagai markas besar VOC dikarenakan letak strategis Maluku yang pada saat itu sebagai sentra perniagaan rempah-rempah dan Ternate sebagai kerajaan Maluku pertama yang memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah kepada VOC. Namun pada saat Jan Pieterzoon Coen menjadi gubernur jendral yang ke-4 pusat VOC Belanda dipindah ke Jakarta yang saat itu diberi nama Batavia dan sejak tahun 1620 tempat kedudukan gubernur jendral VOC dipindahkan dari Ternate ke Batavia. Hal ini dilakukan karena pusat VOC berpendapat bahwa perusahaan ini memerlukan sebuah pusat kegiatan yang lebih strategis dan lebih mudah menjangkau daerah-daerah operasi VOC yang sangat luas.[3]
Di samping institusi gubernur jendral dan gubernur daerah, VOC juga membentuk lembaga pemerintahan umum di Coromandel, Ambon, Banda, Ternate, Sri Lanka, dan Malaka, serta institusi pemerintahan khusus di Tanjung, Pengharapan, Makassar, Padang, Timor, Indragiri, dan Cochin. Sejumlah kantor juga didirikan di Isfahan, Goruran, Saratte, Agro, Amodobot, Benggala, Palembang, Jambi, Bangka, Siam, Logor, dan Jepang.
Pada tahun 1794, Kaisar Napoleon Bonaparte yang berasal dari Perancis menyerbu dan menduduki Belanda. Ia membentuk Negara boneka sekaligus mengangkat adiknya Louis Bonaparte sebagai Raja Belanda. Raja Belanda Sebelumnya yakni Willem V berhasil meloloskan diri ke inggris, menetap di krew dan mengeluarkan sejumlah surat yang dikenal dengan “surat-surat krew” yang isinya memerintahkan kepada para pejabat diwilayah jajahan Belanda agar menyerahkan Belanda kepada Inggris agar tidak jatuh ketangan Perancis.
Inggris memiliki lebih banyak kapal, pasukan, dan senjata dibandingkan dengan Belanda(VOC). Inggris berhasil merebut dan memperoleh beberapa pos Belanda di Indonesia. Pada tahun 1795 Inggris menduduki Padang dan pada tahun 1796 dan setahun kemudian ia mulai menuntut penyerahan seluruh wilayah Maluku. Kondisi VOC semakin terpuruk, baik dibidang militer maupun ekonomi sedang mengalami krisis yang sangat parah. Saat terjadinya perang dengan Inggris IV(1780-1784), untuk mempertahankan Batavia dari ancaman Inggris, VOC harus meminjam sekitar 2.300 prajurit Surakarta dan Yogyakarta.
Dalam bidng keuangan VOC juga sangat terpuruk karena terlilit hutang yang melebihi capital dan asset yang dimiliki. Berkaitan dengan krisis tersebut, pemerintahan Belanda melakukan restrukturasi di pucuk pimpinan VOC dengan mengganti De Heren XVII yang hamper dua abad mengendalikan perusahaan ini dengan sebuah komite yang bertindak sebagai direksi dan menjalankan perusahaan yang sedang terpuruk itu.
Pada Mei 1795 Staaten Generaal mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengganti direksi VOC, De Heren XVII dengan Komite Urusan Dagang dan Pendudukan Hindia Timur yang beranggotakan 28 orang. Pada akhir Desember pemerintahan Belanda memutuskan tidak memperpanjang lagi hak oktroi VOC yang berakhir pada 31 Desember 1799 sehingga pada 1 Januari 1800 VOC dibubarkan secara resmi.






[1] Merle Calvin Ricklefs, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, hal. 71.
[2] Adnan Amal, 2010, Kepulaun Rempah-rempah( Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950),  Jakarta: PT. Gramedia, hal. 261-262.
[3] Ibid, hal. 263

2 komentar: